Sejarah Nama  Dlingo dan Pembentukan OPD Kapanewon Dlingo

Sejarah nama Dlingo berasal dari kata Delengo (lihatlah) hal ini terjadi disaat Ki ageng Perwito Sidiq mengungkap adanya tumurunnya Ratu Kencono di sebuah bukit Gunung Pasar melalui sebuah Bokor Kencono di Desa Krendetan, Delanggu. Hal ini didasari lelaku ki Ageng Giring III untuk meraih kamulyan dengan menggiring wahyu keprabon dari Majapahit (Malang).

Kapanewon Dlingo terdiri dari 6 Desa/kalurahan yakni Dlingo, Mangunan, Temuwuh, Muntuk, Terong, dan Jatimulyo 29 (Kotagede). Di dalam mengadakan perubahan batas kapanewon kapanewon tersebut batas-batas desa tidak terjadi perubahan, dan ditentukan Ibu kota Kapanewon/kecamatan untuk perkembangan daerah dikemudian hari dalam lapangan pemerintah, ekonomi, sosial dan lain sebagainya. Biarpun tempat Ibu Kota telah ditentukan dalam Peraturan Daerah ini, tetapi Dewan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta perlu diberi kekuasaan untuk menunjuk tempat Ibu Kota sementara yang lain, jika faktor-faktor mengenai kepentingan pemerintahan memerlukan tindakan ini, atau hal itu perlu dilakukan dalam keadaan darurat, misalnya gangguan keamanan, bahaya alam dan sebagainya. Sehingga Dlingo masih beribukota di Imogiri. 

Sejarah tanah enclave terjadi usai Perang Diponegoro 1825-1830. Wilayah kasultanan yang semula luas dipangkas dengan Perjanjian Klaten 27 September 1830. Wilayah kasultanan tinggal daerah Mataram (selatan Gunung Merapi) dan Gunungkidul.

Perjanjian Klaten mengatur makam-makam suci di Imogiri dan Kotagede milik bersama antara kasunanan dan kasultanan. Untuk merawat makam suci tersebut, Kasunanan Surakarta diserahi tanah seluas 500 cacah di dekatnya. Tanah seluas 500 cacah ini disebut tanah enclave. Terbagi dalam Kapanewonan Imogiri Surakarta dan Kotagede Surakarta. Imogiri Surakarta meliputi Desa Imogiri, Karangtalun, Karangtengah, Kebonagung, Girirejo, Dlingo, Mangunan, Muntuk dan Desa Temuwuh. Sedangkan Kotagede Surakarta terdiri atas Desa Jatimulyo, Terong, Segoroyoso, Bawuran, Wonolelo, Singosaren dan Desa Jagalan.

UU No. 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIJ disebutkan daerah yang meliputi daerah Kasultanan dan Paku Alaman ditetapkan menjadi DIJ. Saat itu wilayah enclave tidak masuk DIJ. Wilayah enclave  baru masuk ke DIJ melalui UU Darurat No. 5 Tahun 1957 tentang Pengubahan Kedudukan Wilayah Daerah-Daerah Enclave Imogiri, Kota Gede dan Ngawen.

UU darurat itu kemudian ditetapkan menjadi UU No. 14 Tahun 1958. Tindak lanjut dikeluarkan Perda DIJ No. 1 Tahun 1958. Isinya tentang Perubahan Batas dan Nama Kapanewon-Kapanewon Imogiri, Gondowulung dan Kotagede dalam Kabupaten Bantul. Selanjutnya lahirlah Kecamatan Imogiri, Dlingo, Pleret dan Banguntapan.